African Horse Sickness Virus
African Horse Sickness (AHS) merupakan penyakit equine viral yang bersifat infeksius, non-contagious arthropode-borne. Virus AHS ditularkan oleh vector Culicoides, species yang sudah diketahui setidaknya ada dua yaitu Culicoides imicola dan C. bolitinos. Hospes yang rentan terhadap penyakit AHS terutama pada genus Equidae yaitu kuda, keledai, zebra dapat mengalami kematian yang tinggi (Dennis et al., 2019). Rasio kematian pada kuda paling tinggi yaitu 70-95%, dan juga mempengaruhi kuda lain, meskipun tidak terlalu parah. Kematian pada bagal (mules) sebesar 50%, dan keledai dan zebra hanya menunjukkan gejala ringan, dengan kematian sekitar 10%. Untuk beberapa dekade, AHS merupakan penyakit yang menakutkan bagi para pemilik kuda di dataran Sahara Afrika.
Gejala klinis gangguan pernapasan parah pada kuda (Sumber: Sally, 2020)
Penyakit African Horse Sickness bersifat endemis di daerah tropis dan subtropis di Afrika, Sahara bagian Selatan, Senegal bagian Barat sampai Ethiopia dan Timur Somalia dan meluas hingga Afrika bagian Selatan. Penyakit AHS juga telah menyebar ke Eropa Selatan, Timur Tengah dan India, sedangkan Thailand melaporkan wabah AHS pertamanya pada awal 2020. Sebanyak 438 kasus telah diidentifikasi di Thailand pada 1.829 hewan yang rentan dari 66 peternak. Pada bulan September 2020 negara Malaysia melaporkan kejadian penyakit AHS (OIE, 2020). Penyakit ini biasanya terjadi pada akhir musim panas atau musim gugur serta dikaitkan dengan bencana banjir dan hujan lebat (Ratnawati et al., 2018).
Virus AHS memiliki genom linier double stranded RNA (dsRNA) yang terdiri dari 10 segmen yang menyandi 7 protein structural (VP1-7), dan 4 protein nonstruktural (NS1, NS2, NS3, dan NS3A). Pada bagian lapisan luar kapsid terdiri dari komponen VP2 dan VP5. Sedangkan dua protein besar lainnya VP3 dan VP7 serta 3 protein kecil lainnya (VP1, VP3, VP6) membentuk partikel utama dari virus AHS ini. Klasifikasi virus AHS termasuk dalam genus Orbivirus dan family Reoviridae. Sembilan serotipe virus AHS diidentifikasi secara antigenic dengan Virus Netralisasi (VN). Beberapa serotipe memiliki reaksi silang, yaitu serotipe 1 dan 2; 3 dan 7; 5 dan 8; serta 6 dan 9, namun tidak terjadi reaksi silang dengan orbivirus yang lain.
Morfologi African Horse Virus (Sumber: Dennis et al., 2019)
Infeksi virus AHS dimulai dari gigitan Culicoides sp. pada hospes yang rentan dan bereplikasi di lymph nodes. Tahap selanjutnya terjadi viremia yang menyebabkan tersebarnya virus ke seluruh tubuh. Partikel virus yang berikatan dengan eritrosit dan monosit terbawa dalam aliran darah ke dalam sel endothelial paru, limpa dan jaringan limpoid lainnya yang merupakan tempat replikasi sekunder virus. Faktor primer yang menyebabkan tingkat keparahan dan lama penyakit pada kuda berkaitan dengan virulensi virus dan imun dari hewan yang rentan tersebut. Hewan yang sembuh dari infeksi AHS akan terlindungi penuh dari infeksi ulang dengan serotipe virus yang sama dan hanya akan menderita demam dan bentuk gejala jantung pada infeksi ulang virus dengan strain yang berbeda (Dennis et al., 2019).
Virus AHS merupakan virus yang tahan pemanasan 750C selama 10 menit, pada suhu dingin bertahan hingga 700C dan stabil pada suhu 40C. Virus dapat diinaktivasi pada suhu 720C selama 120 menit. Virus akan mati pada pH di bawah 6,0. Belum pernah ada kasus AHS yang dilaporkan menyerang manusia, namun proses rigor mortis setelah pemotongan dapat membunuh virus AHS. Selain itu, virus dapat diinaktivasi dengan formalin 0,1% selama 48 jam, virkon 1%, sodium hipoklorit 3% dan asam asetat 2%. Virus ini resisten terhadap alkohol atau pelarut lemak lainnya karena morfologi virus AHS tidak beramplop.
Terdapat empat bentuk klinis yang klasik penyakit AHS yaitu pulmonary, cardiac, gabungan kedua bentuk tersebut, dan horse sickness fever (OIE, 2019). Gejala klinis pada kuda biasanya terjadi pembengkakan di sekitar mata dan facial, terdapat leleran dari nostril yang disertai demam tinggi, napas pendek, dan batuk. Pada bentuk gejala jantung biasanya bersifat subakut, mengalami demam (39-410C), pembengkakan fossa supraorbital, kelopak mata, wajah, leher, thorax, dan bahu. Mortalitas biasanya >50% dalam 1 minggu. Pada bentuk paru–paru terjadi demam (40-410C), dypsnoe, batuk yang tidak teratur, dilatasi lubang hidung dan keluar leleran, konjungtiva memerah. Pada bentuk ini biasanya fatal dan kematian karena anoksia dalam 1 minggu. Sedangkan bentuk gabungan dari keduanya biasanya bersifat akut dan edema pulmonum. Mortalitas penyakit AHS sekitar 70-80%.
Keperluan diagnosa penyakit AHS memerlukan sampel darah EDTA, serum, organ (limpa, paru) yang diambil dari hewan yang baru mati dan dimasukkan ke dalam transport media dan disimpan pada suhu 40C. Pengujian serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap infeksi serotipe AHSV pada kuda yang bertahan dari infeksi alami dapat dilakukan pada 8-12 hari pasca infeksi. Hal ini dapat ditunjukkan oleh beberapa metode serologis, seperti complement fixation test (CFT), ELISA, imunoblotting dan VN. Cara mengisolasi virus AHS dengan kultur sel menggunakan baby hamster kidney-21 (BHK-21), monkey stable (MS), African green monkey kidney (Vero) atau insect cells (KC), dan intracerebral pada tikus yang baru lahir, intravena pada telur ayam berembrio (OIE, 2019). Identifikasi virus dapat dilakukan dengan metode RT-PCR dan ELISA. Isolat virus dapat diidentifikasi serotipe menggunakan metoda uji serologic tipe spesifik yaitu VN, RT-PCR tipe spesifik atau sequencing. Diagnosa banding AHS antara lain Anthrax, Equine Infectious Anaemia, Equine Viral Artertitis, Trypanosomosis, Equine Encephalosis, Piroplasmosis, Purpura haemorrhagica, Hendra virus.
Pengobatan pada AHS belum ada, antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Sampai saat ini pencegahan untuk infeksi AHS dilakukan dengan cara vaksinasi. Pengendalian penyakit juga dilakukan dengan mengarantina hewan yang sakit agar tidak berdekatan dengan hewan yang sehat dan mengurangi kontak dengan vektor. Pencegahan terhadap vektor dilakukan dengan pemberian insect repellent dan mengandangkan kuda pagi dan sore selain pemberian vaksinasi.
Penulis: Siska Ary Putri dan Sri Handayani Irianingsih
(Medik Veteriner Laboratorium Virologi, Balai Besar Veteriner Wates)
Originally published on 05 January 2022
Referensi:
Dennis, Susan J., Ann E. Meyers, Inga I. Hitzeroth, dan Edward P. Rybicki. 2019. African Horse Sickness: A Review of Current Understanding and Vaccine Development, 11(9), 844
Ho, Sally. 2020. Deadly Horse Disease Spreads Across Thailand, Unearthing More Horrors Of Wildlife Trade. https://www.greenqueen.com.hk/deadly-horse-disease-spreads-across-thailand-unearthing-more-horrors-wildlife-trade/ . Diakses 4 Januari 2022.
OIE. 2019. Chapter 3.5.1. African Horse Sickness (infection with African horse sickness virus). OIE Terrestrial Manual.
OIE. 2020. Update Thailand’s Situation and Control Measure. https://rr-asia.oie.int/wp-content/uploads/2020/04/ahs_webinar_4_eradication-strategies_thailand_nuttavadee-pamaranon.pdf. Diakses 17 Desember 2021.
Ratnawati, Atik., M. Saepullah, I Sendow dan NLPI Dharmayanti. 2018. Kewaspadaan terhadap African Horse Sickness sebagai Penyakit Emerging Arbovirus.
Weber, Laura Vintzel. 2020. Coordinating a Regional Response to African Horse Sickness. https://www.report2020oie.fr/en/a-regional-response-to-african-horse-sickness/. Diakses pada 17 Desember 2021.